Trend dan Issue dalam Komunikasi Keperawatan
ADHD adalah kependekan dari
attention deficit hyperactivity disoerder, ( Attention = perhatian, Deficit =
berkurang, hyperactivity = hiperaktif, dan disorder = gangguan ). Atau gangguan
pemusatan perhatian disertai hiperaktif. Secara umum menjelaskan kondisi anak-anak
yang memperlihatkan simtom-simtom kurang konsentrasi, hiperaktif, dan impulsive
yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan sebagian besar aktivitas hidup mereka.
Bagaimana cara berkomunikasi dengan
anak ADHD?
Hubungan efektif dan proaktif antara
orang tua dan sekolah adalah vital bagi keberhasilan menyeluruh dalam
menghadapi siswa ADHD. Umumnya, orang tua mencoba untuk bertindak demi
kepentingan anak sepanjang waktu. Tindakan mereka biasanya berdasarkan
informasi yang dapat mereka peroleh pada waktu itu. Jika ternyata ada
kontradiksi antara apa yang disebut nasihat professional dan atas apa yang
orang tua lakukan, biasanya ada alasan kuat untuk ini. Orang tua harus
menemukan cara mereka sendiri dalam menerima mereka dan menghadapi masalah
lingkungan mereka sendiri.
Merupakan hal yang biasa, bahwa
orang tua dari anak ADHD mengalami konflik antara yang satu dan yang lainnya.
Misalnya, si Bapak menyalahkan si ibu karena tidak mengawasi si anak. Si ibu
menjelaskan, bahwa segala yang di usahakannya tidak berhasil. Sementara si
bapak, meskipun ada potensiuntuk membantu situasi tersebut, namun dapat member
reaksi dengan cara tidak membantu, seperti menghindari pulang ke rumah sampai
si anak tidur atau memihak si anak melawan ibunya.
Beberapa cara membantu orang tua
adalah mencoba menempatkan mereka ke dalam cara pandang depan yang meskipun
menjengkelkan, namun tidak mengancam jiwa, serta mendorong mereka agar proaktif
dan tidak reaktif. Nasihat tau saran yang paling penting adalah agar mereka
memiliki kesabaran luar biasa. Kontak telepon, saling berkirim sms, atau
mengirim faks, rapat orang tua dengan guru secara periodic, dan penyediaan buku
penghubung sehari-hari,semuanya merupakan sarana untuk membantu mencegah
terjadinya kesalapahaman antara orang tua dan sekolah. Komunikasi yang baik
akan menjamin setiap manipulasi dari situasi anak khusus dapat di hindari
dengan kontak yang erat dan proaktif.
Dua pertimbangan yang harus di ingat
setiap saat adalah:
1)
Anak ADHD
dapat merasakan banyak tekanan atas hubungan keluarga, khususnya anak yang
menralami Oppositional Depiant Disorder ( ODD ).
2)
Dalam
situasi yang selalu sulit, kemungkinan ADHD dan ODD, juga orangtua yang tidak
di akui harus dipertimbangkan.
Ada
banyakprogaram yang bagus di rancang untuk membantu orang tua mengenali masalah
antara yang satu dan yang lainnya. Dalam hal ini, hubungan mereka dengan si
anak dan anggota keluarga lainnya. Teknik penanganan/pengurusan rumah dapat di
ajarkan melalui permainan peran dan sampai batas tertentu dengan terapi
kelompok. Keberhasilan program-program ini sebagian besar bergantung pada mutu
konsultan dan keterbukaan semua pihak untuk nasihat yang objektif.
Mutu terbaik
yang di miliki searang konsultan adalah bersikap tidak membingungkan dan tidak
rumit. Mereka perlu mengarahkan pada satu atau dua masalah khusus dan
mengembangkan strategi untuk membantu orang tua menolong diri mereka sendiri di
kemudian hari.
Beberapa
unsur penting pelatihan orang tua adalah:
1)
Pendidikan
keluarga mengenai ADHD.
2)
Keterampilan
memecahkan masalah.
3)
Memperbaiki
pengawasan orang tua.
4)
Mengurangi
ketegangan
5)
Meningkatkan
pengaruh medikasi.
6)
Keterampilan
berkomunikasi.
7)
Reframing
atau restrukturisasi
8)
Psikoterapi
individual.
Di Indonesia menurut data yang ada
terdapat kecenderungan autisme ini meningkat, merujuk pada prevalensi di dunia,
saat ini terdapat 15-20 kasus per 10.000 anak atau 0,15%-0,20%. Jika kelahiran
di Indonesia enam juta per tahun maka jumlah penyandang autis di Indonesia
bertambah 0,15% atau sekitar 6900 anak pertahun dengan perbandingan anak
laki-laki tiga sampai empat lebih banyak dari anak perempuan.
Autisme tidak dapat disembuhkan (not
curable) namun dapat di terapi (treatable). Maksudnya adalah kelainan yang ada
di dalam otak tidak dapat diperbaiki, namun gejala-gejala yang ada dapat
dikurangi semaksimal mungkin. Sehingga anak tersebut bisa berbaur dengan anak
lain secara normal. Secara umum anak-anak dengan gangguan perkembangan ini
minimal memerlukan terapi intesif awal selama 2 tahun. Dengan merujuk pada data
maka akan ada 1000 anak setiap tahun yang tidak dapat mengikuti terapi
tersebut.
Tujuh puluh lima persen anak autis
yang tidak tertangani akhirnya menjadi tuna grahita.3 Salah satu metode yang
sering digunakan karena terbukti efektif adalah terapi metoda Lovaas, yaitu
terapi yang dikembangkan dari terapi applied behaviour application (ABA). Di
dalam terapi Lovaas salah satu pelatihannya adalah pelatihan komunikasi melalui
gambar-gambar, tujuannya selain untuk melatih daya ingat juga untuk mengenal
benda-benda sekitar. Ini dikarenakan anak autis secara umum memiliki kemampuan
yang menonjol di bidang visual. Mereka lebih mudah untuk mengingat dan belajar,
bila diperlihatkan gambar atau tulisan dari benda-benda, kejadian, tingkah laku
maupun konsep-konsep abstrak. Dengan melihat gambar atau tulisan, anak autis
akan membentuk gambaran mental atau mental image yang jelas dan relatif
permanen dalam benaknya.
Bila materi tersebut hanya diucapkan
saja mereka akan mudah melupakannya karena daya ingat mereka amat terbatas.
Karena itu dalam melakukan terapi digunakan sebanyak mungkin kartu-kartu
bergambar dan alat bantu visual lain untuk membantu mereka mengingat, hal ini
juga berlaku untuk anak autis yang hanya mengalami gangguan di bidang verbal.
Untuk melatih penderita agar bisa berkomunikasi,
kita harus menyesuaikan diri dengan gaya komunikasi mereka. Orang tua dan
pendidik bisa menggunakan ekspresi wajah, gerak isyarat, mengubah nada suara,
menunjuk gambar, menunjuk tulisan, menggunakan papan komunikasi dan menggunakan
simbol-simbol. Cara-cara tersebut tidak hanya digunakan secara tersendiri,
tetapi juga dapat digabungkan sehingga membentuk pesan yang lebih kuat.
Masalah yang timbul adalah di
Indonesia belum ada alat yang secara terintegrasi dengan unsur-unsur tersebut
diatas. Yang ada adalah alat-alat yang harus didatangkan dari luar negeri atau
dibuat sendiri, ini jelas tidak praktis. Melihat dengan meningkatnya jumlah
penderita autis, maka dibutuhkan sebuah alat yang mampu mengintegrasikan
unsur-unsur visual dan audio yang dapat berinteraksi untuk menunjang pelatihan
komunikasi pada anak autis.
Sebagai pemecahan teknologi
multimedia yang mengemas dan mampu mengintegrasikan unsur visual dan audio
secara interaktif untuk mendidik anak autis, karena CD-ROM yang merupakan
bagian dari teknologi itu mampu menampung data yang setara dengan 11.000
tumpukan kertas ukuran A4, bahkan lebih dengan menggunakan teknik kompresi
data. 4 Arh,“Meningkatkan komunikasi pada anak autis”, artikel pada harian
Kompas (21-04- 2002) 21/3.
Selain itu dengan aplikasi
multimedia interaktif ini dimungkinkan pemilihan materi yang hendak dipelajari
secara bebas, misalnya pada hari ini pengenalan warna yang akan dipelajari,
esok hari mungkin pengenalan huruf, atau kombinasi keduanya dalam satu hari,
tergantung dari minat anak tersebut, dan ini semua dikemas dalam sebuah CD-ROM.
Dengan menggunakan printer, kartu bergambar obyek dapat dicetak sehingga dapat
digunakan tiap waktu, anak autis dalam metoda tatalaksana membutuhkan suasana
belajar yang kontinyu, sehingga ia menjadi terlatih.
Tetapi dengan dengan begitu banyak
fitur aplikasi multimedia interaktif ini tidak ditujukan untuk menjadi one stop
solution, karena dalam pelatihan anak autis tetap diperlukan media lain,
aplikasi multimedia interaktif ini membatasi diri hanya untuk menjadi
pelengkap.
Dalam aplikasi multimedia interaktif
ini terdapat isi atau content yang akan dikomunikasikan kepada anak autis
berupa pembelajaran pengenalan obyek sehari-hari. Dalam aplikasi multimedia
interaktif wahana yang menjembatani agar isi atau content ini dapat
tersampaikan adalah graphical user interface atau antar muka grafis.
Graphical user interface (GUI)
adalah sarana untuk berinteraksi dengan isi atau content yang hendak
disampaikan, bila desain GUI tidak dapat dimengerti sudah dapat dipastikan
aplikasi tersebut menjadi mubazir karena isi atau content tidak dapat
dimengerti oleh komunikan.
Pada anak autis, dengan mengikuti
aturan yang telah menjadi standar di dunia maka GUI akan dibuat sesederhana
mungkin dengan tidak mengabaikan unsur komunikasinya sehingga isi atau content
dapat disampaikan dengan baik kepada penderita.
C. PELAKSANAAN KOLABORASI PERAWAT – DOKTER
Kolaborasi merupakan istilah umum
yang sering digunakan untuk menggambarkan suatu hubungan kerja sama yang dilakukan
pihak tertentu. Sekian banyak pengertian dikemukakan dengan sudut pandang
beragam namun didasari prinsip yang sama yaitu mengenai kebersamaan, kerja
sama, berbagi tugas, kesetaraan, tanggung jawab dan tanggung gugat. Namun
demikian kolaborasi sulit didefinisikan untuk menggambarkan apa yang
sebenarnya yang menjadi esensi dari kegiatan ini. Seperti yang dikemukakan
National Joint Practice Commision (1977) yang dikutip Siegler dan Whitney
(2000) bahwa tidak ada definisi yang mampu menjelaskan sekian ragam variasi dan
kompleknya kolaborasi dalam kontek perawatan kesehatan.
Berdasarkan kamus Heritage Amerika
(2000), kolaborasi adalah bekerja bersama khususnya dalam usaha penggambungkan
pemikiran. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukanan oleh Gray (1989)
menggambarkan bahwa kolaborasi sebagai suatu proses berfikir dimana pihak yang
terklibat memandang aspek-aspek perbedaan dari suatu masalah serta menemukan
solusi dari perbedaan tersebut dan keterbatasan padangan mereka terhadap apa
yang dapat dilakukan.
American Medical Assosiation (AMA),
1994, setelah melalui diskusi dan negosiasi yang panjang dalam
kesepakatan hubungan professional dokter dan perawat, mendefinisikan
istilah kolaborasi sebagai berikut ; Kolaborasi adalah proses dimana dokter
dan perawat merencanakan dan praktek bersama sebagai kolega, bekerja saling
ketergantungan dalam batasan-batasan lingkup praktek mereka dengan berbagi
nilai-nilai dan saling mengakui dan menghargai terhadap setiap orang yang
berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan masyarakat.
Apapun bentuk dan tempatnya,
kolaborasi meliputi suatu pertukaran pandangan atau ide yang memberikan
perspektif kepada seluruh kolaborator. Efektifitas hubungan kolaborasi
profesional membutuhkan mutual respek baik setuju atau ketidaksetujuan yang
dicapai dalam interaksi tersebut. Partnership kolaborasi merupakan usaha yang
baik sebab mereka menghasilkan outcome yang lebih baik bagi pasien dalam
mecapai upaya penyembuhan dan memperbaiki kualitas hidup.
Kolaborasi merupakan proses komplek
yang membutuhkan sharing pengetahuan yang direncanakan dan menjadi
tanggung jawab bersama untuk merawat pasien. Bekerja bersama dalam kesetaraan
adalah esensi dasar dari kolaborasi yang kita gunakan untuk menggambarkan
hubungan perawat dan dokter. Tentunya ada konsekweksi di balik issue
kesetaraan yang dimaksud. Kesetaraan
kemungkinan dapat terwujud jika individu yang terlibat merasa
dihargai serta terlibat secara fisik dan intelektual saat memberikan
bantuan kepada pasien. Pertanyaannya apakah kolaborasi dokter dan perawat telah
terjadi dengan semestinya?
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk menelaah
lebih jauh mengenai trend dan issue mengenai pelaksanaan kolaborasi
perawat-dokter, mengingat bahwa kerjasama antara dokter-perawat merupakan salah
satu faktor sangat penting untuk mencapai keberhasilan dan kualitas
pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien.
a)
Trend dan Issue yang Terjadi
Hubungan
perawat-dokter adalah satu bentuk hubungan interaksi yang telah cukup lama
dikenal ketika memberikan bantuan kepada pasien. Perspektif yang berbeda dalam
memandang pasien, dalam prakteknya menyebabkan munculnya
hambatan-hambatan teknik dalam melakukan proses kolaborasi. Kendala psikologis
keilmuan dan individual, factor sosial, serta budaya menempatkan kedua profesi
ini memunculkan kebutuhan akan upaya kolaborasi yang dapat menjadikan keduanya
lebih solid dengan semangat kepentingan pasien.
Berbagai penelitian
menunjukan bahwa banyak aspek positif yang dapat timbul jika hubungan
kolaborasi dokter-perawat berlangsung baik. American Nurses Credentialing
Center (ANCC) melakukan risetnya pada 14 rumah sakit melaporkan bahwa hubungan
dokter-perawat bukan hanya mungkin dilakukan, tetapi juga berdampak langsung
pada hasil yang dialami pasien (Kramer dan Schamalenberg, 2003). Terdapat
hubungan korelasi positif antara kualitas hubungan dokter-perawat dengan
kualitas hasil yang didapatkan pasien.
Hambatan kolaborasi
dokter dan perawat sering dijumpai pada tingkat profesional dan institusional.
Perbedaan status dan kekuasaan tetap menjadi sumber utama ketidaksesuaian yang
membatasi pendirian profesional dalam aplikasi kolaborasi. Dokter cenderung
pria, dari tingkat ekonomi lebih tinggi dan biasanya fisik lebih besar
dibanding perawat, sehingga iklim dan kondisi sosial masih medukung dominasi
dokter. Inti sesungguhnya dari konflik perawat dan dokter terletak pada
perbedaan sikap profesional mereka terhadap pasien dan cara berkomunikasi
diantara keduanya.
Dari hasil
observasi penulis di rumah sakit nampaknya perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan belum dapat melaksanakan fungsi kolaborasi khususnya dengan dokter.
Perawat bekerja memberikan pelayanan kepada pasien hanya berdasarkan intruksi
medis yang juga didokumentasikan secara baik, sementara dokumentasi
asuhan keperawatan yang meliputi proses keperawatan tidak ada. Disamping itu
hasil wawancara penulis dengan beberapa perawat rumah sakit pemerintah dan
swasta, mereka menyatakan bahwa banyak kendala yang dihadapi dalam melaksanakan
kolaborasi, diantaranya pandangan dokter yang selalu menganggap bahwa
perawat merupakan tenaga vokasional, perawat sebagai asistennya, serta
kebijakan rumah sakit yang kurang mendukung.
Isu-isu
tersebut jika tidak ditanggapi dengan benar dan proporsional
dikhawatirkan dapat menghambat upaya melindungi kepentingan pasien dan
masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan kesehatan, serta menghambat upaya
pengembangan dari keperawatan sebagai profesi.
b)
Pembahasan
1)
Pemahaman kolaborasi
Pemahaman
mengenai prinsip kolaborasi dapat menjadi kurang berdasar jika hanya dipandang
dari hasilnya saja. Pembahasan bagaimana proses kolaborasi itu terjadi justru
menjadi point penting yang harus disikapi. Bagaimana masing-masing profesi
memandang arti kolaborasi harus dipahami oleh kedua belah pihak sehingga dapat
diperoleh persepsi yang sama.
Seorang dokter
saat menghadapi pasien pada umumnya berfikir, ” apa diagnosa pasien ini dan
perawatan apa yang dibutuhkannya” pola pemikiran seperti ini sudah terbentuk
sejak awal proses pendidikannya. Sulit dijelaskan secara tepat bagaimana
pembentukan pola berfikir seperti itu apalagi kurikulum kedokteran terus
berkembang. Mereka juga diperkenalkan dengan lingkungan klinis dibina dalam
masalah etika, pencatatan riwayat medis, pemeriksaan fisik serta hubungan
dokter dan pasien. mahasiswa kedokteran pra-klinis sering terlibat langsung
dalam aspek psikososial perawatan pasien melalui kegiatan tertentu seperti
gabungan bimbingan – pasien. Selama periode tersebut hampir tidak ada kontak
formal dengan para perawat, pekerja sosial atau profesional kesehatan lain.
Sebagai praktisi memang mereka berbagi lingkungan kerja dengan para perawat
tetapi mereka tidak dididik untuk menanggapinya sebagai rekanan/sejawat/kolega.
(Siegler dan Whitney, 2000)
Dilain pihak
seorang perawat akan berfikir; apa masalah pasien ini? Bagaimana pasien
menanganinya?, bantuan apa yang dibutuhkannya? Dan apa yang dapat diberikan
kepada pasien?. Perawat dididik untuk mampu menilai status kesehatan pasien,
merencanakan intervensi, melaksanakan rencana, mengevaluasi hasil dan menilai
kembali sesuai kebutuhan. Para pendidik menyebutnya sebagai proses keperawatan.
Inilah yang dijadikan dasar argumentasi bahwa profesi keperawatan didasari oleh
disiplin ilmu yang membantu individu sakit atau sehat dalam menjalankan
kegiatan yang mendukung kesehatan atau pemulihan sehingga pasien bisa mandiri.
Sejak awal perawat
dididik mengenal perannya dan berinteraksi dengan pasien. Praktek keperawatan
menggabungkan teori dan penelitian perawatan dalam praktek rumah sakat dan
praktek pelayanan kesehatan masyarakat. Para pelajar bekerja diunit perawatan
pasien bersama staf perawatan untuk belajar merawat, menjalankan prosedur dan
menginternalisasi peran.
Kolaborasi
merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing pengetahuan yang direncanakan
yang disengaja, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk merawat pasien.
Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang lama antara tenaga profesional
kesehatan. (Lindeke dan Sieckert, 2005).
Kolaborasi
adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau perawat klinik bekerja
dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam lingkup praktek
profesional keperawatan, dengan pengawasan dan supervisi sebagai pemberi
petunjuk pengembangan kerjasama atau mekanisme yang ditentukan oleh peraturan
suatu negara dimana pelayanan diberikan. Perawat dan dokter merencanakan dan
mempraktekan bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam
batas-batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-nilai dan pengetahuan serta
respek terhadap orang lain yang berkontribusi terhadap perawatan individu,
keluarga dan masyarakat.
2)
Anggota Tim interdisiplin
Tim pelayanan
kesehatan interdisiplin merupakan sekolompok profesional yang mempunyai aturan
yang jelas, tujuan umum dan berbeda keahlian. Tim akan berfungsi baik jika
terjadi adanya konstribusi dari anggota tim dalam memberikan pelayanan
kesehatan terbaik. Anggota tim kesehatan meliputi : pasien, perawat, dokter,
fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena itu
tim kolaborasi hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab
dan saling menghargai antar sesama anggota tim.
Pasien secara
integral adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan
suatu rencana menjadi efektif. Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal
hanya dapat dicapai jika pasien sebagai pusat anggota tim.
Perawat sebagai
anggota membawa persfektif yang unik dalam interdisiplin tim. Perawat
memfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari
praktek profesi kesehatan lain. Perawat berperan sebagai penghubung penting
antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan.
Dokter memiliki
peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan mencegah penyakit. Pada situasi
ini dokter menggunakan modalitas pengobatan seperti pemberian obat dan
pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan anggota tim lainnya sebagaimana
membuat referal pemberian pengobatan.
Kolaborasi
menyatakan bahwa anggota tim kesehatan harus bekerja dengan kompak dalam
mencapai tujuan. Elemen penting untuk mencapai kolaborasi yang efektif meliputi
kerjasama, asertifitas, tanggung jawab, komunikasi, otonomi dan kordinasi.
Kerjasama
adalah menghargai pendapat orang lain dan bersedia untuk memeriksa beberapa
alternatif pendapat dan perubahan kepercayaan. Asertifitas penting ketika
individu dalam tim mendukung pendapat mereka dengan keyakinan. Tindakan asertif
menjamin bahwa pendapatnya benar-benar didengar dan konsensus untuk dicapai.
Tanggung jawab, mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari hasil konsensus
dan harus terlibat dalam pelaksanaannya. Komunikasi artinya bahwa setiap
anggota bertanggung jawab untuk membagi informasi penting mengenai perawatan
pasien dan issu yang relevan untuk membuat keputusan klinis. Otonomi mencakup
kemandirian anggota tim dalam batas kompetensinya. Kordinasi adalah efisiensi
organisasi yang dibutuhkan dalam perawatan pasien, mengurangi duplikasi dan
menjamin orang yang berkualifikasi dalam menyelesaikan permasalahan.
Kolaborasi
didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi praktisi profesional,
kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada pasien. Kolegalitas
menekankan pada saling menghargai, dan pendekatan profesional untuk
masalah-masalah dalam team dari pada menyalahkan seseorang atau atau
menghindari tangung jawab. Hensen menyarankan konsep dengan
arti yang sama : mutualitas dimana dia mengartikan sebagai suatu hubungan yang
memfasilitasi suatu proses dinamis antara orang-orang ditandai oleh
keinginan maju untuk mencapai tujuan dan kepuasan setiap anggota. Kepercayaan
adalah konsep umum untuk semua elemen kolaborasi. Tanpa rasa pecaya,
kerjasama tidak akan ada, asertif menjadi ancaman, menghindar dari tanggung
jawab, terganggunya komunikasi . Otonomi akan ditekan dan koordinasi tidak akan
terjadi.
Elemen kunci
kolaborasi dalam kerja sama team multidisipliner dapat digunakan untuk
mencapai tujuan kolaborasi team :
- Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan
keahlian unik profesional.
- Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya
- Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas
- Meningkatnya kohesifitas antar profesional
- Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional,
-
Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas, dan
menghargai dan memahami orang lain.
Berkaitan dengan issue kolaborasi dan soal menjalin kerja sama kemitraan
dengan dokter, perawat perlu mengantisipasi konsekuensi perubahan dari
vokasional menjadi profesional. Status yuridis
seiring perubahan perawat dari perpanjangan tangan dokter menjadi mitra dokter
sangat kompleks. Tanggung jawab hukum juga akan terpisah untuk masing-masing
kesalahan atau kelalaian. Yaitu, malpraktik medis, dan malpraktik keperawatan.
Perlu ada kejelasan dari pemerintah maupun para pihak terkait mengenai tanggung
jawab hukum dari perawat, dokter maupun rumah sakit. Organisasi profesi perawat
juga harus berbenah dan memperluas struktur organisasi agar dapat mengantisipasi
perubahan. (www. kompas.com. Diakses pada tanggal 20 Maret 2007)
Pertemuan
profesional dokter-perawat dalam situasi nyata lebih banyak terjadi dalam
lingkungan rumah sakit. Pihak manajemen rumah sakit dapat menjadi fasilitator
demi terjalinnyanya hubungan kolaborasi seperti dengan menerapkan sistem atau
kebijakan yang mengatur interaksi diantara berbagai profesi kesehatan.
Pencatatan terpadu data kesehatan pasien, ronde bersama, dan pengembangan
tingkat pendidikan perawat dapat juga dijadikan strategi untuk mencapai tujuan
tersebut.
Ronde bersama
yang dimaksud adalah kegiatan visite bersama antara dokter-perawat dan
mahasiswa perawat maupun mahasiswa kedokteran, dengan tujuan mengevaluasi
pelayanan kesehatan yang telah dilakukan kepada pasien. Dokter dan perawat
saling bertukar informasi untuk mengatasi permasalahan pasien secara efektif.
Kegiatan ini juga merupakan sebagai satu upaya untuk menanamkan sejak dini
pentingnya kolaborasi bagi kemajuan proses penyembuhan pasien. Kegiatan ronde
bersama dapat ditindaklanjuti dengan pertemuan berkala untuk membahas
kasus-kasus tertentu sehingga terjadi trasnfer pengetahuan diantara
anggota tim.
Komunikasi
dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif, hal tersebut perlu
ditunjang oleh sarana komunikasi yang dapat menyatukan data kesehatan pasien
secara komfrenhensif sehingga menjadi sumber informasi bagi semua anggota team
dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu perlu dikembangkan catatan status
kesehatan pasien yang memungkinkan komunikasi dokter dan perawat terjadi secara
efektif.
Pendidikan
perawat perlu terus ditingkatkan untuk meminimalkan kesenjangan profesional
dengan dokter melalui pendidikan berkelanjutan. Peningkatan pengetahuan dan
keterampilan dapat dilakukan melalui pendidikan formal sampai kejenjang
spesialis atau minimal melalui pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan
keahlian perawat.
Daftar Pustaka
1. Apple Corp. Inside Mac OS X :Aqua
Human Interface Guidelines, (Apple Computer, Inc. : California) 2001
2. Arn. “Polusi sebabkan autisma.” Harian Kompas, 26-09-2000
3. Arh.“Meningkatkan komunikasi pada anak autis.”, Harian Kompas 21-04- 2002
4. Aries Arditi, Making Text Legible: Designing for People with Partial Sight, 23-04-2002 terdapat di situs http://www.lighthouse.org
5. Fred T. Hofstetter, Multimedia Literacy (New York, McGraw-Hill Irwin) 2001.
6. Jalaludin Rakhmad. Psikologi Komunikasi, Bandung, Remaja Rosdakarya 1992
2. Arn. “Polusi sebabkan autisma.” Harian Kompas, 26-09-2000
3. Arh.“Meningkatkan komunikasi pada anak autis.”, Harian Kompas 21-04- 2002
4. Aries Arditi, Making Text Legible: Designing for People with Partial Sight, 23-04-2002 terdapat di situs http://www.lighthouse.org
5. Fred T. Hofstetter, Multimedia Literacy (New York, McGraw-Hill Irwin) 2001.
6. Jalaludin Rakhmad. Psikologi Komunikasi, Bandung, Remaja Rosdakarya 1992
Sumber: Judul Buku anak ADHD,
karangan:
1. Drs. MIF. Baihaqi, Msi.
2. Drs. M. Sugiarmin, Mpd
Potter &
Perry. (2005). Fundamental Keperawatan. Edisi 2. Jakarta : EGC